Belum tersedia data kepustakaan yang akurat sejak kapan permainan Bridge secara tepatnya masuk ke Indonesia. Namun bisa dipastikan bahwa sekitar pasca tahun1880-an, permainan Bridge mulai terbawa oleh bangsa Eropa, atau tepatnya Belanda yang saat itu menjajah Indonesia. Dengan demikian, usia permainan ini di Indonesia sudah dikenal cukup lama. Walaupun pada awalnya hanya di kalangan yang sangat terbatas. Kehadiran Bridge yang merupakan alur budaya internasional, memiliki daya tarik dan pesona tersendiri. Terutama bagi mereka yang senang menghadapi tantangan rasio dan olah pikir. Bagaimana seorang pemain harus berangkat dari potensi riel kartu yang dipegangnya, dipadu plus point kartu partner untuk memperkirakan suatu kontrak dan mengelola trik demi trik, secara sabar, tekun, cermat, disertai konsentrasi dan ketabahan yang berkesinambungan agar kontrak terpenuhi.
Prinsip kerja keras, cerdas, cepat dan purna dengan sikap “do it now and do it right”, akan menjadi perilaku keseharian bagi pemain Bridge yang berhasil mengadaptasi olahraga ini dalam praktek keseharian di tengah masyarakat.
Pada tanggal 12 Desember 1953, Willy Th. Roring, perwira TNI-AL, beserta rekan-rekannya mendirikan suatu organisasi olahraga Bridge yang dinamakan Gabungan Bridge Seluruh Indonesia, disingkat GABSI. Susunan pengurus GABSI waktu itu terdiri dari:
W.Th. Roring (alm) selaku Ketua; G.A. Muntu (alm) Wakil Ketua; H.V. Muntu (alm), Sekretaris; Rasyid Doenggio (alm), Bendahara; R. Satrijo (alm) Komisaris; R.Ch. Hardjono (alm) Bagian Teknik/Pemimpin Pertandingan, yang kelak juga menjabat Komda (sekarang Pengda) GABSI Jatim hingga tahun 1961. Selain itu juga terdapat beberapa anggota pengurus lainnya seperti Liem Kiem Lie (alm) bagian Teknik, dan Bintangsah (alm).
Pada waktu berdirinya, GABSI hanya memiliki satu anggota, Gabungan Bridge Surabaya. Kemudian menyusul Ikatan Bridge Malang (sekarang Gabungan Bridge Malang), dan disusul lagi dengan bergabungnya Gabungan-Gabungan Bridge di Jawa Timur, yaitu Jember, Banyuwangi, Kediri, Madiun, dan Jombang.
Saat itu GABSI baru dapat menyatukan Gabungan-Gabungan Bridge yang berada di Jawa Timur, karena pada masa itu, sarana komunikasi masih sukar.
Antara tahun1954-1956, ketika bapak Willy Roring bertugas di Makasar (sekarang Ujungpandang), beliau menyaksikan bahwa permainan Bridge ternyata cukup populer di sana, sehingga berhasil dihimbau untuk bergabung menjadi anggota GABSI, dengan nama Gabungan Bridge Makasar. Ini merupakan anggota dari luar Jawa yang pertama.
Jateng dan Yogyakarta
Bila sewaktu GABSI berdiri anggotanya hanya terdiri dari Gabungan-Gabungan Bridge di Jawa Timur, bukan berarti kegiatan atau perkumpulan Bridge di daerah lainnya tidak ada. Di Semarang, Yogya, Solo dan Salatiga terdapat cukup banyak perkumpulan Bridge. Tokoh-tokoh pembina di Semarang antara lain Dr. A.G.F. Andoe (alm), Johny Anwar (alm), Fred Ameln (alm), Tan Tiek Hien (alm), dan Teguh Santoso. Di Salatiga, pembina utamanya Lie Pok Gie. Atas inisiatif Fred Ameln, mereka bersama-sama mendirikan Gabungan Bridge Semarang yang terdiri dari dua perkumpulan. Pada tahun 1956, di Semarang, atas prakarsa Johny Anwar dan Fred Ameln, dua-duanya merupakan periwra Polisi yang sangat keranjingan bermain Bridge, telah diselenggarakan Kejuaraan Bridge se-Jawa. Kegiatan ini sama sekali di luar kegiatan GABSI karena pada waktu G.B. Semarang belum tergabung induk organisasi GABSI. Kejuaraan Bridge s-Jawa tersebut diluar dugaan diikuti oleh Perkumpulan-Perkumpulan Bridge dari Jatim, Yogya, Jateng dan Jabar, termasuk Jakarta. Ini merupakan suatu “blessing in disguise”, karena sejak itu berita tentang berdirinya GABSI tersebar luas di kalangan peserta, dan melahirkan motivasi untuk bersatu dan mendukung adanya GABSI.
Di Yogyakarta yang pernah menjadi Ibukota Republik Indonesia, peminat Bridge cukup banyak. Salah seorang tokoh pendiri Gabungan Bridge Yogyakarta adalah Bapak Jenderal TNI Sarbini, yang waktu itu masih berpangkat Kolonel. Di kota gudeg inilah pada tanggal 17 Agustus 1957, untuk pertama kalinya diselenggarakan Kejuaraan Nasional Bridge Pasangan, dengan mengambil tempat di Sasana Hinggil Kesultanan Yogyakarta sebelah selatan. Untuk selanjutnya, diputuskan bahwa Kerjurnas Pasangan diselenggarakan setiap dua tahun sekali, pada tahun ganjil, dan Kejurnas Pasangan II diselenggarakan tahun1959 di Surabaya.
Solo
Bila Surabaya tempat lahirnya GABSI, Semarang penyelenggara Kejuaraan se-Jawa yang pertama, dan Yogya tuan rumah Kejurnas Pasangan Pertama, di Solo masyarakat bridge memiliki kebanggaan tersendiri.
Pada hari Kamis tanggal 1 Juli 1954, di Solo berdiri Perikatan Bridge Surakarta disingkat PBS (sekarang GABSO, Gabungan Bridge Solo). PBS merupakan gabungan dari beberapa perkumpulan Bridge di kota Solo. Ketuanya adalah Bapak Letkol Soeharto, Komandan Resimen XV (sekarang Bapak Jenderal Pur.Soeharto, Presiden RI). Wakil Ketua: Lubis, Komisaris Polisi Karesidenan Surakarta; Penulis: Rusman, Pegawai Djawatan Sosial; Bendahara: Abdul Wahab Gani, Kepala Djawatan Pekerdjaan Umum; Pemimpin Pertandingan: Mardikusumo Madyotaman: Komisi Teknik: Redjo, Guru SR (SDD) Banjarsari; Komisaris: Kapten A. Boesro dan Sutarto.
Selain di organisasi Bridge, Pak Harto dan Pak Gani juga aktif sebagai pengurus Persis (Persatuan Sepakbola Indonesia Surakarta).
Jakarta
Jakarta merupakan kota besar yang paling banyak memiliki perkumpulan Bridge, antara lain Manguni, Harmoni, Maesa, Tjikini. Namun salah satu yang terbesar adalah Bataviase Bridge Bond yang berpusat di Hotel Dharma Nirmala. (Sekitar tahun 70-an hotel ini dirubuhkan, kemudian dibangun Gedung Dewan Pertimbangan Agung).
Pada tahun 1954, Bataviase Bridge Bond dibubarkan dan namanya diganti menjadi Gabungan Bridge Djakarta (GBD). Ketua GBD yang pertama Bapak Soedardjo, yang kemudian digantikan oleh Ir. Inkiriwang (alm). Urutan ketua selanjutnya, D.B. Masengi (alm) dan Fred Ameln (alm).
Pada tahun 1958, ketika di Bandung diselenggarakan Kejurnas Bridge Empat Kawan, GBD resmi menjadi anggota GABSI. Selanjutnya, menjelang Kejurnas Antar Kota dan Kongres GABSI tahun 1970 di Bali, GBD dibagi dalam lima Gabungan sesuai jumlah wilayah di DKI Jakarta, yaitu G.B. Jakarta Pusat, G.B. Jakarta Barat, G.B. Jakarta Selatan, G.B. Jakarta Timur dan G.B. Jakarta Utara. Pelaksana keputusan Kongres tersebut adalah Drs. Fred Ameln (alm), Amran Zamzami SE dan Ch. Bahasoean. Komda GABSI DKI Jakarta yang pertama adalah Wie Kian Hay (Kihan Wibawa), kemudian digantikan oleh P.M. Tangkilisan (alm).
Tahun 1972, istilah Komda diganti Pengurus Daerah (Pengda) dan Ketua Pengda GABSI DKI yang pertama adalah Abd. Madjid SH (1972-1974).
Bandung
Gabungan Bridge Bandung menjadi anggota GABSI pada tahun 1957, ketika mengikuti Kejurnas Bridge Pasangan di Yogyakarta. Pada kesempatan itu pula GBD menawarkan diri untuk menjadi tuan rumah Kejurnas bridge empat Kawan pada tahun 1958. Pada kejurnas ini, para pemenang mendapat hadiah berupa bingkisan berharga, antara lain tiket Kereta Api semua jurusan di Jawa untuk selama satu tahun, dan bingkisan lainnya.
Mulai tahun 1962, PB GABSI yang semula berkedudukan di Surabaya, dipindahkan ke Bandung. Bapak Kusno Utomo ditunjuk sebagai Ketua Umum PB GABSI periode 1962-1964.
Jumlah anggota GABSI sudah semakin banyak dan di daerah-daerah dibentuk Komda yang waktu itu terdiri dari delapan propinsi, yaitu:
1. Sumatra Utara T. Ma’moen
2. Sumatra Barat S.Dt.Mangkuto Sati
3. Sumatra Selatan R.F. Ratulangi
4. Jakarta Raya Wie Kian Hay
5. Jawa Barat Achmad Suwarno
6. Jawa Tengah & D.I.Y. Achmad Kuat
7. Jawa Timur F.X. Pur Byantara
8. Sulawesi Selatan S.O. Yoe Dg.Nai
Kejuaraan Bridge Antar Kota merupakan ide dari Alex Frans Logyantara, seorang pengusaha otomotif Scorpio Motors, yang keranjingan main Bridge.
Kejuaraan ini mulai dilaksanakan pada tahun 1965 di Jakarta, memperebutkan Scorpio Bowl. Namun setelah sempat diperebutkan dua kali, kemudian diganti dengan Piala Presiden Soeharto. Tahun 1972, sebutan Antar Kota dirubah menjadi Antar Gabungan.
Pada mulanya, setiap regu terdiri dari kombinasi tiga tim empat-kawan dengan jumlah pemain minimum 12 orang dan maksimum 18 orang. Oleh karena jumlah peserta makin bertambah banyak, mulai tahun 1974 peserta dibagi dalam dua klasemen. Klasemen A terdiri dari delapan Gabungan terbaik hasil Kejurnas sebelumnya, dan sisanya di klasemen B. Tahun 1975, Sidang Pengda yang berlangsung di Banjarmasin, menambah jumlah peserta Klasemen A menjadi 10 Gabungan. Kemudian berdasarkan keputusan Kongres GABSI tahun 1980 di Baleendah, Bandung, sejak tahun 1982 setiap Tim Antar Gabungan terdiri dari kombinasi 2 tim empat-kawan, dan jumlah peserta klasemen A menjadi 16 Gabungan.
Tahun 1960, GABSI resmi menjadi anggota KOGOR (Komando Gerakan Olahraga) yang dipimpin oleh Menteri Olahraga, Maladi. Kemudian, pada tahun 1964, berdasarkan ketentuan Menteri Olahraga bahwa semua induk organisasi olahraga harus berkedudukan di Jakarta, maka “markas besar” GABSI dipindahkan ke Jakarta – hingga sekarang.
Ketua Umum PB GABSI periode 1964-1966 adalah seorang wanita, Ny. Soebandrio. Namun akibat situasi politik pada tahun 1965, (Peristiwa pemberontakan G30S PKI, di mana Dr. Soebandrio terlibat) maka sejak tahun 1965 Ny. Soebandrio digantikan oleh Kol. Darwis Abdullah selaku Pejabat Ketua Umum. Pada Kongres GABSI tahun 1966, di Surabaya, diangkat Dr. G. Rambitan menjadi Ketua Umum periode 1966-1968. Ketika rezim Orde Lama diganti Orde Baru, Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) berdiri secara resmi pada tanggal 31 Desemnber 1966, dan KOGOR dibubarkan. Selanjutnya, sesuai Surat Keputusan Presiden RI NO.57 tahun 1967, seluruh induk organisasi mantan anggota KOGOR secara organisatoris menjadi anggota KONI.
Sebagai anggota KONI, GABSI giat melakukan kejuaraan-kejuaraan di dalam negeri dan mengikuti turnamen-turnamen di Mancanegara. Di dalam negeri aktif menyelenggarakan pertandingan berjenjang dari Klub, Gabungan sampai tingkat Nasional. Kejuaraan Kasional yang diselenggarakan setiap tahun adalah:
Tiap tahun genap:
Antar Gabungan Patkawan Terbuka, Patkawan Wanita, Patkawan Junior dan Patkawan Campuran.
Tiap tahun ganjil:
Antar-Pengda, Antar-Perkumpulan, Pasangan Terbuka, Pasangan Wanita, Pasangan Junior dan Pasangan Campuran.
Pertandingan-pertandingan lain yang telah menjadi Kalender Nasional GABS.
Kejuaraan-kejuaraan Mahasiswa Antar Universitas dan perguruan Tinggi di Seluruh Indonesia.
Adapun kejuaraan-kejuaraan regional dan internasional yang diikuti GABSI antara lain: Asean Bridge Club Championships (ABCC) dan Far East Bridge Federation Championship (FEBFC) yang keduanya diselenggarakan setiap ahun. Kejuaraan Dunia Junior (Ortiz Patino Cup) dan Wanita (Venice Cup) serta Open Team (Bermuda bowl) tiap dua tahun (pada tahun ganjil), Olympiade Bridge setiap dua tahun (pada tahun genap), Invitasi dunia dan turnamen internasional lainnya yang diselenggarakan negara-negara sahabat.
Olahraga Bridge juga dipertandingan di arena Pekan Olahraga Nasional (PON) yaitu: PON VII di Surabaya 1969, PON VIII di Jakarta 1973, PON IX 1977, PON X 1981 dan PON XI 1985. Namun sejak itu dengan pertimbangan membatasi jumlah cabang olahraga dan peserta, maka pada PON XII dan XIII, cabang olahraga Bridge tidak dipertandingkan lagi. Walaupun demikian PB GABSI pada setiap Musornas KONI Pusat selalu memperjuangkan agar Bridge kembali dipertandingkan di PON. Usaha tersebut berhasil dengan baik, dan pada PON IV/1996, Bridge merupakan salah satu cabang olahraga yang ikut dipertandingkan.
Setelah GABSI berdiri kegiatan bridge di Indonesia mengalami perkembangan yang positif. Ruang pertandingan yang semula berskala kota, kini meluas menjadi se-Jawa, dan meluas lagi se-Indonesia. Kejurnas demi Kejurnas dilaksanakan secara teratur setahun sekali.
Sementara itu perkembangan oleharaga Bridge di dunia juga semakin mantap. Tahun 1958 didirikan organisasi Bridge Dunia, World Bridge Federation (WBF), beranggotakan American Contract Bridge League, European Bridge Union, dan Australian Bridge Federation. Pada tahun 1960, Indonesia masuk menjadi anggota WBF.
Dewasa ini WBF telah beranggotakan kurang lebih 100 negara yang terbagi dalam delapan zona, yaitu Zona Eropa, Amerika Utara, Amerika Latin, Amerika Tengah dan Karibia, Asia Timur Tengah, Asia Timur Jauh, Afrika dan Pacific & Oceania.
Indonesia resmi menjhadi anggota Far East Bridge Federation (FEBF) pada tahun 1960. Ketika pada tahun 1962 di Manila diseleneggarakan Kejuaraan Far East yang pertama, Indonesia keluar sebagai Juara Pertama (dengan susunan pemain: Tan Kiong Say, Oei Keng Hian, Dr. M.W. Maznam, Djawar Dt.R.M., Thio Oen Gie, Tan Hok San, dan npc: Drg. Sie Ban Hwie). Prestasi ini berulang kembali pada tahun 1964, ketika Kejuaraan Far East dilangsungkan di Tokyo, dengan susunan regu: Thio Oen Gie, Tan Hok San, Liem Hok Po, Eddy Nayoan, J.A. Fransz, dan Ir. Ingkiriwang selaku NPC. Prestasi tim Bridge Indonesia 1964 ini, sekembalinya dari Jepang disambut meriah, bahkan para pemain dan official diterima Presiden Soekarno di Istana Bogor.
Pada tahun 1966 Indonesia untuk pertama kalinya mengikuti Olympiade Bridge Pasangan di Amsterdam. Sanbudhi-Sudianto, pemain Bridge Indonesia terbaik saat itu, berhasil menduduki peringkat 11 besar dunia.
Berdasarkan hasil “delegate’s meeting” pada FEBF 1995 di Perth, maka disepakati mengganti nama FEBF yang berkesan peninggalan masa lampau menjadi Pacific Asia Bridge Federation (PABF) yang lebih sesuai.
Sementara itu iklim politik di negara kita pada masa Orde Lama, terutama tahun 1960-an, diwarnai oleh “chauvinisme” dan anti Barat. Hal itu juga berpengaruh pada ekologi jagad keolahragaan Bridge Nasional, dan dengan sendirinya membawa dampak organisatoris.
Sikap anti Barat itu di berbagai bidang tercuat dengan tercipta forum-forum tandingan, termasuk di bidang olahraga (misalnya Ganefo), membuat hubungan Indonesia menjadi kurang mesra dengan WBF. Bahkan secara sengaja kita membangkang dengan tidak lagi membayar iuran wajib. Akibatnya Indonesia diskors dari keanggotaan WBF.
Tahun 1970 Indonesia menjadi Tuan Rumah Far East Bridge Federation Championships. Gubernur KDKI Jakarta, Ali Sadikin, menunjuk Amran Zamzami SE selaku Ketua Organizing Committee. Di kejuaraan itu, untuk pertama kalinya tim Wanita kita berhasil menjadi Juara pertama (dengan pemain: Ny. Eus Gontha, Ny. Nette Suparto, Ny. Indraningsih Wibowo, Ny. Joan Syarif, Ny. Raturandang, Ny. Djajawiraradja dan npc. H.Ch. Bahasoean), sedangkan Tim Putra hanya menduduki peringkat ke-4. Namun demikian penyelenggaraan Far East di Hotel Indonesia, Jakarta, dinilai sebagai penyelenggaraan yang terbaik sejak event akbar ini digelar.
Berhasilnya kita menyelenggarakan FEBFC ke-14 tahun 1970 itu, menarik perhatian tokoh-tokoh bridge Asia untuk mengusulkan Indonesia kembali ke gelanggang Bridge Dunia, WBF. Secara resmi GABSI menyampaikan maksud itu pada tahun 1971, bertepatan dengan diselenggarakannya Bermuda Bowl di Mandarin Hotel, Taipeh. Dalam kesempatan “counsel meeting”, Indonesia diwakili Amran Zamzami SE, dan mendapat dukungan Mr. Jose Reyes, President FEBF, serta Mr. Severo Tuason, FEBF Secretary. Melalui diskusi dan pembelaan yang melelahkan dalam rapat Dewan Eksekutif se dunia, akhirnya Indonesia berhasil diterima kembali sebagai anggota WBF setelah enam tahun diskors, dengan syarat harus melunasi tunggakan iuran selama enam tahun, sebesar US$900,- tunai.
Dalam rapat itu Mr. Tuason antara lain mengatakan: “Saya perlu kemukakan dan percayalah bahwa selama lebih kurang 40 tahun saya berkecimpung di dunia Bridge., serta telah bermain Bridge ke seluruh dunia, saya belum pernah melihat betapa baiknya Indonesia melaksanakan turnamen FEBFC seperti yang berlangsung pada bulan Oktober 1970 di Jakarta. Mudah-mudahan kembalinya Indonesia ke masyarakat Bridge Dlunia akan membawa suasana segar, dan marilah kita lupakan masa lalu”.
Setelah diterima kembali menjjadi anggota WBF, selanjutnya Indonesia berturur-turut berhasil meraih kejayaan di FEBFC di Singapura 1972, Hong Kong 1973, Manila 1974.
Dunia tercengang, Indonesia yang baru saja kembali terdaftar dalam WBF dan semula dianggap “anak bawang”, ternyata mampu menggebrak jago-jago Bridge se Jagad. Maka muncullah isu “radar gelap”, dan yang menjadi sasaran adalah pasangan Manoppo Bersaudara, sebab pemain manapun merasa sulit menundukkan kakak-beradik ini. Terdapat banyak pihak yang merasa dirugikan oleh keberhasilan Indonesia yang secara spektakuler tiga kali berturut-turut menjuarai Far East sejak tahun 1972 hingga 1974. Keberatan tidak hanya ti kalangan luar negeri, tapi justru lebih dulu bertiup dari kalangan pemain dalam negeri.
Isu itupun kian berkembang tanpa pengendalian dan menciptakan mendung di angkasa Bridge nasional yang akhirnya menghancurkan prestasi kita. Seharusnya hal itu menjadikan GABSI cepat tanggap untuk segera menyelesaikannya, karena menyangkut kehormatan Bangsa Indonesia. Sayang, penanganan kasus ini berlarut-larut, bahkan timbul kesan seolah-olah sengaja ditunda-tunda, sehingga dalam sidang FEBFC di New Delhi 1978, diputuskan bahwa pasangan Manoppo Bersaudara tidak boleh main untuk jangka waktu lima tahun, berlaku surut sejak 1974. Selanjutnya secara halus dianjurkan agar keduanya tidak berpasangan lagi, alias harus ganti partner.
Hukuman terhadap Manoppo Bersaudara pada hakekatnya adalah tamparan bagi bangsa Indonesia, khususnya di kalangan masyarakat Bridge dunia. Masyarakat Bridge internasional beranggapan bahwa atlet Bridge Indonesia bukanlah olahragawan yang sportif alias tidak “gentleman”, curang. Padahal “Bridge is a gentleman’s game”. Mereka merasa dirampok haknya secara tidak etis dan tidak logis. Itulah kesan dunia pada waktu itu.
Bagaimana perasaan kita sebagai Bangsa Indonesia bila dihadapkan dengan kenyataan bahwa martabat bangsa tercoreng di dunia internasional? Beberapa orang dari GABSI, dipelopori oleh Amran Zamzami SE, terpanggil untuk mengangkat martabat yang telah terendam di air keruh dan berikrar: “Tanpa Manoppo Bersaudara Indonesia harus berjaya di forum internasional”.
Konsekuensinya harus kerja keras. Sebab untuk mewujudkan cita-cita diatas, bagai mengangkat batang terendam, penuh dengan ketidak-mungkinan. Sebelum ayam jantan berkokok tanggal 31 Desember1979, Tim Bridge Indonesia harus menjadi Juara Far East tanpa Manoppo Bersaudara. Itulah tekad mereka.
PB GABSI yang waktu itu diketuai Wisnu Djajengminardo, menunjuk Amran Zamzami SE (Ketua Harian) selaku “Project Officer” yang berkuasa penuh untuk membentuk tim Nasional yang tangguh.
Amran Zamzami membuat konsep pola pembinaan yang disebut MODEST (Motivasi, Determinasi, Effort, Strategy, Tactics), dan memanggil beberapa pemain andalan yaitu: Ferdy Waluyan, Denny Sacul, Yasin Widjaya, Munawar Sawiruddin, Henky Lasut, Max Aguw, Sabri, Gardea (alm), Arwin Budirahardja, Alex Fransz (alm), Eddy Nayoan, Jack Rimbuan (alm), B. Hutagalung dan Albert Surjadi.
Mereka dikumpulkan di gedung PWI Jalan Veteran Jakarta (berkat kebaikan hati Bapak Harmoko yang waktu itu menjabat Ketua PWI). Selama sembilan bulan para pemain dilatih secara spartan dengan pola MODEST.
Setelah melalui seleksi yang ketat, terbentuklah Tim Indonesia yang terdiri dari Chef de Mission Amran Zamzami SE, F.R. Waluyan-Denny Sacul; Henky Lasut-Max Aguw; Yasin Wijaya-Munawar Sariduddin; npc Jack Rimbuan.
Apa yang terjadi? Harapan menjadi kenyataan. Tim Bridge Indonesia berhasil menggondol Juara Timur Jauh tanpa pasangan Manoppo Bersaudara. Ketika pulang ke tanah air, di bandara Halim Perdanakusuma disambut sebagai pahlawan oleh Pelindung PB GABSI, Moedjono SH (alm), Ketua Mahkamah Agung RI; para pengurus Besar GABSI beserta masyarakat Bridge Jakarta.
Setahun kemudian Indonesia mengikuti Kejuaraan Dunia Invitasi dan WBF Olympiad VI di Valkenburg. Sebelum berangkat, Tim Bridge Indonesia, mendapat kehormatan. Pada tanggal 16 September 1980, pukul 10.00, bertempat di gedung Bina Graha, Presiden Soeharto, berkenan menerima kontingen Bridge Indonesia yang didampingi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Ketua Umum KONI Pusat; Moedjono SH, Pelindung PB GABSI, dan Ketua Umum PB GABSI, Wisnu Djajengminardo.
Dalam kata pelepasan, Presiden Soeharto menyampaikan wejangan yang merupakan pusaka kramat bagi para anggota kontingen:
“Setiap prestasi olahraga termasuk cabang olahraga bridge yang saudara-saudara perjuangkan sekarang ini, mempunyai dampak yang sangat positif bagi bangsa dan negara kita, baik terhadap dampak sosial politik, sosial ekonomi, maupun sosial budaya, serta dapat mengangkat kredibilitas bangsa di dunia internasional. Oleh karena itu apapun yang sudah kalian pelajari dan alami selama dalam pelatnas, hendaknya dimanfaatkan sebaik-baiknya”.
Pesan Presiden itu ternyata mampu menyemangati Tim Indonesia yang terdiri atas: Amran Zamzami SE (Chef de Miission), Max Horhoruw (Team Manager), Jack Rimbuan (NPC), dan para atlet: F.R. Waluyan-Denny Sacul; Hanky Lasut-Max Aguw; Yasin Wijaya-Munawar Sawiruddin.
Dalam kejuaraan Bridge Invitasi Dunia di Amsterdam, yang diselenggarakan menjelang Olympiad Bridge VI di Valkenburg, tanggal 22 s/d 24 September 1980 di Hotel Hilton Amsterdam, Indonesia berhasil menjadi juara. Kejuaraan Invitasi tersebut pada mulanya hanya diikuti 8 negara sebagai wakil-wakil zona (Indonesia mewakili zona VI-Timur Jauh) kemudian ditambah empat regu lagi dari Belanda, Inggris, Swedia, dan tim sponsor Volmack dari Belanda, sehingga jumlah peserta menjadi 12 regu yang terpilih sebagai regu-regu Bridge terbaik di dunia, dan Indonesia muncul sebagai Juara pertama.
Seminggu kemudian Indonesia mengikuti World Team Olympiad VI di Valkenburg awal Oktober 1980, yang diikuti 58 negara. Di sini nama Indonesia makin semerbak karena berhasil mengungguli negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Dalam sejarah Bridge Dunia, Italia, Amerika Serikat dan Perancis senantiasa mendominasi peta Bridge dunia. Tapi di babak semifinal, Indonesia berhasil tampil di urutan keempat setelah Perancis, Amerika Serikat dan Belanda, itupun dengan selisih angka tipis, akibat terkena hukuman “slow-play”.
Sekembalinya di tanah air, kontingen Indonesia dengan didampingi Suprajogi, Ketua Harian KONI Pusat, diterima Presiden Soeharto, untuk menyampaikan laporan perjuangan Tim Bridge Nasional kita, serta hasil-hasil yang dicapai.
Keberhasilan tidak selamanya berbuah manis. Sekembalinya dari Invitasi Internasional dan World Team Olympiad dengan hasil yang gemilang, ternyata juga menimbulkan perpecahan di kalangan PB GABSI, sehingga mandat penuh dikembalikan oleh Amran Zamzami dan diserahkan kepada H.N. Sumual, yang kemudian tetap meminta Amran untuk menangani Tim Nasional.
Dengan latar belakang seperti itulah berlangsung Kongres GABSI XVI, pada bulan September 1982, di Ujungpandang. Situasi dalam forum tertinggi organisasi Bridge Indonesia menjadi panas dan terjadi perpecahan. Untuk menyelamatkan, kemudian Kongres memilih dwi tunggal H.N. Sumual-Amran Zamzami, masing-masing sebagai Ketua Umum dan Ketua Harian masa bakti 1982-1986.
PB GABSI terpilih harus kerja keras karena Indonesia bertekad merebut kembali Piala Rebulida di kejuaraan Far East di Bangkok bulan Desember 1982. Untuk memenangkan FEBFC di Bangkok, dibuat program khusus. Tim yang disusun tediri dari: FR Waluyan, Denny Sacul, Henky Lasut, Max Aguw, Munawar Sawiruddin, Donny Tuerah. NPC: Arifin Halim, Team Manager: Max Horhoruw, Dokter Tim: drg. Julius Tedjasukmana, Chef de Mission: Amran Zamzami dan Penasehat: H.N. Sumual.
Ternyata kerja keras PB GABBSI dalam waktu yang begitu singkat, untuk mewujudkan tekad memboyong kembali Piala Rebulida berhasil. Bertepatan dengan HUT GABSI ke 29, tanggal 12 Desember 1982, Tim Bridge Indonesia keluar sebagai Juara FEBFC.
Kemenangan di Bangkok disusul dengan kemenangan di FEBFC di Hong Kong tahun 1983, kemudian di FEBFC di Macao tahun 1984. Sehingga selama tiga tahun berturut-turut Piala Rebulida berada di tanah air.
Tanggal 23 November 1984, Indonesia kembali merengkuh kemenangan gilang gemilang dengan menjuarai Invitasi Bridge se Dunia di Caransa Mai, dengan susunan pemain Henky Lasut-Eddy Manoppo, Yasin Widjaya-Munawar dan FR Waluyan-Denny Sacul; NPC: Jack Rimbuan. Prestasi gemilang berikutnya pada tahun 1986 meraih juara Invitasi di Rotterdam.
Era tahun 1980 memang cukup menbanggakan. Bridge Indonesia benar-benar mampu menjadi primadona. Iklim organisasi sangat membantu penciptaan prestasi puncak bagi para atlet. Ketika Tim Bridge Indonesia berangkat mengikuti Bridge Team Olympiad di Seattle, Amerika Serikat, Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah melepas rombongan dengan upacara yang sangat berkesan. Di event tingkat dunia itu, Indonesia berhasil menjadi juara pool dari 30 negara peserta. (Jumlah peserta 60 negara yang dibagi dalam dua pool). Sayang, pada babak berikutnya yang menggunakan sistim gugur, Indonesia dikalahkan Prancis sehingga gagal ke babak final.
Dengan berhasilnya Indonesia menjuarai FEBFC di Macao tahun 1984, maka Indonesia berhak mewakili zona VI ke kejuaraan Bermuda Bowl di Sao Paolo stahun 1985. Tim Indonesia yang saat itu diunggulkan oleh kalangan Bridge dunia, ternyata tergelincir pada urutan kelima. Salah satu penyebab, adalah timbulnya kecaman ketika harus menghadapi Tim Israel yang tidak bisa dihindari. Masalah Sao Paolo ini mendapat sorotan Pers dalam negeri dan menjadi persoalan yang kontroversial. Padahal presedennya sudah ada, Amsterdam 1980 (ketika Tim Bridge Indonesia harus bertanding lawan Israel), dan KONI Pusat merestuinya.
Setelah peristiwa Sao Paolo, dunia Bridge kita merosot ke bawah. Di arena FEBFC di Penang, 1986, hanya menjadi runner-up. Selanjutnya di berbagai kejuaraan Timur Jauh prestasi tim kita terus merosot. FEBFC di Shanghai (1987) peringkat ke-6, FEBFC di Singapore (1988) peringkat ke-7, FEBFC 1989 di Jakarta, runner up, FEBFC (1990) di Singapore peringkat ke-7 dan di Guangzhou (1991) peringkat ke-6.
Titik cerah mulai dtampak ketika di Far East Congress di Hong Kong tahun 1992, tim putra Indonesia berhasil menjadi Juara. Sukses ini berlanjut di Singapore tahun 1993 ketika Tim Indonesia secara meyakinkan muncul sebagai Juara Far East sekaligus juara Zona VI, sehingga berhak mewakili zona VI ke Bermuda Bowl di Santiago Chili. Sebelumnya pada bulan Mei, tim yang terdiri dari Eddy Manoppo-Henky Lasut, Denny Sacul-Munawar, Santje Panelewen-Giovani dengan NPC: Yasin Wijaya, diundang oleh Federasi Bridge Australia untuk mengikuti Kejuaraan South Pacific & Oceania, telah berhasil keluar sebagai Juara.
Kemerosotan prestasi Bridge nasional pasca Sao Paolo (1986-1990) meresahkan beberapa tokoh “sport intelektual” ini di Indonesia, terutama bagi mereka yang sudah puluhan tahun berjuang mati-matian untuk menegakkan eksistensi olahraga bergengsi ini dan telah berhasil mengangkat nama baik Indonesia di dunia internasional. Tokoh tersebut antara lain Soepardjo Rlustam yang sejah tahun 1985, berkenan untuk diangkat menjadi Pelindung PB GABSI, menggantikan Moedjono SH yang wafat pada bulan April 1984.
Problem lain di samping menegakkan disiplin ke dalam, adalah kemampuan untuk mengkonsolidasikan guna pembinaan prestasi. Arah utama tertuju pada pencapaian prestasi dan kemudian masalisasi serta pembibitan. Hal itu membutuhkan dana yang berimbang serta pengelolaan yang profesional.
Pada Kongres GABSI di Balikpapan, bulan September 1990, H.N. Sumual dann Amran Zamzami yang sejak tahun 1986 hingga 1990 mengundurkan diri dari kepengurusan PB GABSI , ditunjuk untuk aktif kembali. Amran Zamzami terpilih sebagai Ketua Umum PB GABSI periode1990-1994, sedangkan H.N. Sumual selaku Ketua Dewan Pembina, merangkap Ketua Badan Pembentukan dan Pembinaan Tim Nasional.
Para pengurus terpilih harus mampu memikul beban sejarah GABSI dan dituntut kemampuan perannya guna mengembalikan citra dan kewibawaan PB GABSI, agar sasaran tercapai, yaitu memprestasikan Bridge dan memasalisasikan dalam jenjang pembinaan atlet.
Keberhasilan Kongres GABSI XVIII di Balikpapan, tidak lepas dari peranan Bapak Soepardjo Rustam, selaku Pelindung Gabungan Bridge Seluruh Indonesia. Sikap arif Pak Pardjo yang menekankan masalah persatuan dan kesatuan demi kepentingan nasional, sangat mewarnai pimpinan PB GABSI saat ini. Apa yang telah dilakukan Pak Pardjo untuk menyelamatkan hasil Kongres tahun 1990 merupakan tindakan terpuji yang kesekian kalinya. Berkaitan dengan hari ulang tahun GABSI setiap tanggal 12 Desember, Beliau mencanangkan agar HUT tersebut diperingati sebagai Hari Bridge Nasional dengan menggelar Turnamen Bridge secara serentak di setiap ibukota Propinsi, yang dilaksanakan oleh para Pengda.
Pada tanggal 11 April 1993, dunia Bridge Indonesia diketjukan dengan berita wafatnya Bapak Soepardjo Rustam. Seluruh masyarakat Bridge Indonesia diliputi rasa duka yang mendalam. Bapak Soepardjo Rustam tokoh karismatik yang selama ini merupakan pengayom, pelindung, dan tempat bertanya, yang selalu siap membantu kesibukan olahraga Bridge betapapun sibuknya Beliau di urusan pemerintahan, telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya.
Pasca Kongres Balikpapan ditandai dengan gelombang dinamika organisasi dan peningkatan frekuensi turnamen di berbagai daerah, terutama di Jawa. Pada dasarnya kegiatan PB GABSI dan masyarakat Bridge Indonesia dalam periode ini mempunyai sasaran lima hal pokok atau Pasca Krida yang mencakup:
Pertama : Menciptakan dan memelihara iklim yang “favorable”, suasana harmonis, ditunjang rasa persatuan dan kesatuan berdasarkan azas persaudaraan, kekeluargaan dan sportivitas.
Kedua : Memasalkan olahraga bridge, baik secara vertikal maupun horizontal secara terencana, terkontrol dan berkesinambungan.
Ketiga : Penyuluhan bakat dan kaderisasi.
Keempat : Pemantapan prestasi, baik di tingkat regional maupun internasional, Putra, Putri dan terutama Yunior yang kelak akan menjadi tulang punggung kekuatan kita.
Kelima : Membangun jaringan organisasi yang handal, tangguh, berwibawa, dan mampu menghadapi berbagai tantangan dari luar maupun dari dalam tubuh sendiri.
Lima sasaran tersebut secara ringkas dirumuskan dalam Program Panca Krida GABSI. Penciptaan iklim yang nyaman sehingga ke dalam menggairahkan dunia olahraga Bridge diliputi rasa persaudaraan ke arah rasa persatuan dan kesatuan, serta menempatkan kepentingan nasional di atas kepentingan kelompok dan interes pribadi. Keluar ditempuh dengan menggalang kesatuan dan meningkatkan hubungan dengan induk-induk organisasi olahraga, KONI Pusat, serta organisasi kemasyarakatan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, sehingga Bridge lebih dikenal secara meluas, terutama di kalangan pengusaha untuk memudahkan pencarian dana. Masalisasi dan pembibitan direalisasikan dalam program peningkatan frekuensi pertandingan, baik lokal maupun nasional.
Setelah hampir satu tahun dunia Bridge Indonesia kehilangan salah seorang Bapak yang sangat dicintai, Bapak Soepardjo Rustam, PB GABSI mendapat gantinya, yaitu Jenderal TNI Wismoyo Arismunandar. Tokoh yang masih muda dan sedang menanjak karirnya, yang belum lama dilantik menjabat KASAD, secara simpatik menyatakan bersedia ketika diminta menjadi Pelindung GABSI. Perjumpaan dengan Bapak Wismoyo terjadi ketika beliau sedang menyaksikan Sea Games di Singapura bulan Juni 1993. Pada waktu itu di Hotel Westin Stamford juga sedang berlangsung Kejuaraan Far East. Pada tengah malam, Bapak Wismoyo didampingi Pangdam Jaya beserta rombongan sepuluh orang, memerlukan datang meninjau, bahkan sempat memberi arahan dan nasihat kepada kontingen Bridge Indonesia. Kunjungan ini sangat besar artinya bagi tim putra Indonesia. Justru saat itu, menjelang tiga session terakhir, posisi Indonesia secara ketat dibayangi tim RRC. Indonesia bukan hanya bertekad menjuarai Far East, tapi juga akan merebut juara Zona VI. Kehadiran pak Wismoyo mampu melecut semangat para pemain.
Salah satu pertimbangan Bapak Wismoyo untuk bersedia menjadi Pelindung GABSI, beliau kemukakan ketika menutup Kejurnas Bridge ke-34 dan membuka Kejuaraan Djarum ASEAN Open Championships di Kuta, Bali, pada tanggal 13 November 1993. Antara lain menurut Beliau: “Bermain Bridge ternyata ada hubungannya dengan kesetiaan dalam berbangsa dan bernegara. Untuk bisa memenangkan pertandingan, setiap anggota dalam pasangan harus saling setia. Hal itu sama seperti membangun negara ini yang juga memerlukan kesetiaan. Kalau dalam kegiatan olahraga pemainnya sudah saling setia, maka dalam pembangunan bangsa ini tentunya juga akan mudah memberikan kesetiaannya”. Karena itu Beliau jatuh cinta kepada GABSI.